Entah kenapa, bebrapa hari ini hy ingin sekali mengeluarkan uneg2. Tapi hy bukan seorang penulis yang mampu menggambarkan perasaan-nya dengan kata kata. Akhirnya dengan bergerilya di dunia maya, hy mendapatkan gambaran yang ada di benak hy yang selalu muncul beberapa hari ini.
Artikel ini hy ambil dari :http://eaglesspirit.blogspot.com/2007/02/saling-menghargai.html
Ini kisah tentang kebiasaan seorang profesor yang suka menonjolkan diri. Pada suatu hari, ketika sang profesor mengambil cuti dan berlayar mengarungi samudra dengan kapal pesiar, jiwa sombongnya mulai keluar.
Ketika diantar menuju kamar tidurnya, si profesor bertanya pada si pelayan kamar: ”Anak muda, pernahkah engkau belajar psikologi?” Si pemuda itu menjawab tidak, dan si profesor meneruskan,”Bagaimana mungkin? Kamu kan bekerja di bisnis yang berhubungan dengan manusia. Pasti kamu memerlukan ilmu tentang perilaku dan sifat-sifat manusia. Selain itu, kamu juga harus tahu artinya pelayanan yang baik agar tidak asal-asalan dalam melaksanakan tugas. Sebenarnya aku tidak suka mengatakannya, tetapi jika kamu belum pernah belajar psikologi, itu artinya kamu sudah menyia-nyiakan setengah hidupmu.”
Siang harinya, ketika si profesor sedang berada di atas dek, ia melihat seorang anak buah kapal sedang bersenandung sambil membersihkan meja kursi tamu. “Hei, anak muda, pernahkah engkau mempelajari filsafat?”
“Tidak pernah,” anak muda itu menjawab dengan nada sopan.”Saya kira saya sudah gembira dengan pekerjaan saya ini. Saya sudah mengunjungi seluruh pelosok dunia dengan gratis, dapat makan, kamar serta seragam dan mendapat gaji lagi. Untuk apa saya belajar.. apa itu tadi namanya… firasat?”
“Filsafat, bukan firasat! Kamu tahu,“ kata si profesor, ” Dengan mempelajari filsafat kamu akan tahu lebih dalam tentang hakikat hidup. Kamu bisa menukik lebih dalam tentang pelayaranmu sampai pada level aktualisasi diri. Dan kamu bisa berdialog dengan para tamu dengan level intelektualitas lebih tinggi. Jika kamu tidak pernah belajar filsafat, maka sebenarnya kamu sudah menyia-nyiakan setengah hidupmu.”
Sorenya, si profesor bertemu dengan anak buah kapal lain yang kebetulan sedang bertugas membersihkan salah satu tiang kapal. “Coba katakan padaku, anak muda, pernahkan engkau mempelajari antropologi?” tanya si profesor dengan nada menyelidik.
Pada saat anak muda itu menjawab belum pernah, si profesor melanjutkan, ”Tidak pernah? Kamu tahu, jika kamu belajar antropologi kamu akan tahu kebudayaan, adat istiadat, ritual dan seni masyarakat dimana kamu singgah. Antropologi,” katanya mengkuliahi, ”bisa membuat kamu mampu berdialog dengan suku asing dan memperluas cakrawala ilmu pengetahuan kamu. Tanpa antropologi, berarti sudah kau sia-siakan setengah hidupmu.”
Dalam satu hari, “reputasi jelek” si profesor sudah mewabah seperti virus di kapal itu. Semua kelasi dan crew kapal takut berdekatan dengan sang profesor karena pertanyaan dan kuliahnya yang tidak cukup sepeminuman teh itu.
Malamnya, pada saat langit gelap gulita kapal pesiar itu dihantam badai. Diterpa oleh ganasnya ombak, tiang kapal berderak-derak. Lambung kapal berkeriut-keriut. Kapten kapal meneriaki semua orang untuk bersiap-siap memakai pelampung. Si profesor bergegas mengenakan pelampung dan lari menuju sekoci penyelamat. Disana, beberapa anak buah kapal berteriak mengatur sekoci yang siap meninggalkan kapal induk. Seorang anak buah kapal demi melihat sang profesor berjalan dengan gugup, bertanya: ”Pernahkah tuan belajar berenang?”
“Tidak pernah,” jawab profesor dengan menggigil dan ketakutan setengah mati sambil kedua tangannya berpegangan erat pada sisi sekoci penyelamat.
“Sangat disayangkan,” kata anak buah kapal itu,” Jika sekoci ini tenggelam, berarti tuan sudah menyia-nyiakan SELURUH hidup tuan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar